Ilir-ilir
Lir ilir tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak sengguh temanten anyar
Bocah angon bocah angon penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodot-iro
Dodot-iro dodot-iro lumintir bedah ing pinggir
Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore
Mumpung jembar kalangane
Mumpung padhang rembulane
Yo surako
Surak: Hoooorrreeeeee
Sunan Ampel
Lho, ini kan lagu kebangsaanku sewaktu kecil dan masih tidur di langgar…. Senang sekali rasanya menyanyikan lagu ini meskipun tidak tahu maknanya. Saya pernah mendengar makna yang tersirat dari penjelasan para sesepuh kurang lebih begini :
> Ilir-ilir, ilir-ilir
> tandure wus sumilir
> tak ijo royo-royo
> tak sengguh temanten anyar
Bait di atas di atas secara harafiah menggambarkan hamparan tanaman
padi di sawah yang menghijau, dihiasi oleh tiupan angin yang
menggoyangkannya dengan lembut. Tingkat ke-muda-an itu dipersamakan
pula dengan pengantin baru. Jadi ini adalah penggambaran usia muda
yang penuh harapan, penuh potensi, dan siap untuk berkarya.
> Bocah angon, bocah angon
> penekno blimbing kuwi
> lunyu-lunyu penekno
> kanggo mbasuh dodot-iro
Anak gembala,
panjatlah [ambillah] buah belimbing itu [dari pohonnya].
Panjatlah meskipun licin,
karena buah itu berguna untuk membersihkan pakaianmu.
Buah belimbing yang seringkali bergigir lima itu melambangkan lima
rukun Islam; dan sari-pati buah itu berguna untuk membersihkan
perilaku dan sikap mental kita. Ini harus kita upayakan betapapun
licinnya pohon itu, betapapun sulitnya hambatan yang kita hadapi.
Anak gembala dapat diartikan sebagai anak remaja yang masih polos
dan masih dalam tahap awal dari perkembangan spiritualnya. Konotasi
inilah yang sering muncul seketika bila orang Jawa menyebut ‘bocah
angon’. Namun pengertiannya dapat pula ditingkatkan menjadi
pemimpin, baik pemimpin keluarga, tokoh masyarakat, ataupun pemimpin
formal dalam berbagai tingkatan dari ketua RT sampai pimpinan
negara.
> Dodot-iro, dodot-iro
> kumitir bedah ing pinggir
> dondomono, jlumatono
> kanggo sebo mengko sore
Pakaianmu berkibar tertiup angin, robek-robek di pinggirnya.
Jahitlah dan rapikan agar pantas dikenakan untuk “menghadap” nanti
sore.
“Sebo” adalah istilah yang dipergunakan untuk perbuatan ‘sowan’
atau menghadap raja atau pembesar lain di lingkungan kerajaan.
Makna pakaian adalah perilaku atau sikap mental kita.
Menghadap bermakna menghadap Allah.
Nanti sore melambangkan waktu senja dalam kehidupan, menjelang
kematian kita.
> Mumpung padhang rembulane
> mumpung jembar kalangane
Manfaatkan terang cahaya yang ada, jangan tunggu sampai kegelapan
tiba. Manfaatkan keluasan kesempatan yang ada, jangan menunggu
sampai waktunya menjadi sempit bagi kita.
Menurut kasetnya Emha Ainun Najib kurang lebih sbb :
> Negeri yang amat kaya raya namun dimanage dengan buruk…..
>Bocah angon (penggembala kebangsaan, pemimpin nasional, bukan pemuka gerombolan atau tokoh golongan) yang harus memanjat pohon selicin apapun untuk memperoleh blimbing yang bergigir lima…..
>Sari blimbing ini dipakai untuk mencuci pakaian nasional yang robek-robek (krisis moral yang melahirkan krisis politik)…..
>Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane..sepanjang masih sangat mungkin krisis ini diatasi…
Tafsir Cak Nun ini merupakan tafsir kontemporer yang disesuaikan
dengan kondisi sekarang, dan dialamatkan kepada para pemimpin bangsa
atas kerusakan moral yang terjadi pada bangsa kita ini. Kelak, kita
boleh saja menafsirkannya ke dalam situasi baru yang muncul
kemudian.
TKP....
Selasa, 02 Agustus 2011
Ilir-Ilir
2:06:00 PM
Erlian
No comments
0 komentar:
Posting Komentar